Indosultra.com,Kendari – Sidang dugaan korupsi anggaran Sekretariat Daerah (Setda) Kota Kendari terus bergulir dan kini memasuki babak krusial. Dalam sidang keenam yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kendari, sejumlah kesaksian Aparatur Sipil Negara (ASN) dan kejanggalan alat bukti mulai mematahkan tuduhan yang dialamatkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap mantan Sekda Kota Kendari, Nahwa Umar.
Nahwa Umar bersama dua terdakwa lainnya, Ariyuli Ningsih Lindoeno (mantan bendahara pengeluaran) dan Muchlis (staf), didakwa telah merugikan negara sebesar Rp444 juta dari lima pos anggaran tahun 2020.
Namun, fakta persidangan justru menunjukkan indikasi kuat adanya rekayasa dokumen, manipulasi kesaksian, bahkan potensi keterlibatan pejabat lain yang luput dari sorotan JPU.
Kuasa hukum Nahwa Umar, Muswanto Utama, menyatakan bahwa dari total 24 saksi yang dihadirkan, tidak satupun yang menyebut keterlibatan langsung mantan Sekda tersebut dalam praktik korupsi.
“Semua kesaksian justru menunjukkan bahwa Nahwa Umar tidak terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung,” tegas Muswanto, Kamis (3/7/2025).
Kesaksian penting datang dari Farida Agustina Muhsin, mantan Kepala BKAD Kendari. Ia menegaskan bahwa penggunaan anggaran makan dan minum oleh sekda dan staf sah secara aturan karena tercantum dalam DPA.
Hal serupa juga ditegaskan mantan Kabag Umum, Jahuddin, yang menyatakan bahwa penggunaan anggaran oleh Nahwa dan empat stafnya sudah sesuai karena mereka merupakan ASN Setda.
Salah satu momen mengejutkan terjadi saat saksi Hardiana, Kasubag Rumah Tangga, mengakui di hadapan hakim bahwa seluruh SPJ fiktif dibuat atas inisiatif pribadinya.
“Tidak ada perintah dari Sekda. Semua saya buat sendiri,” ujarnya tegas.
Saat ditunjukkan bukti berupa nota belanja makan-minum atas nama Nahwa Umar, Hardiana mengakui seluruhnya adalah fiktif dan dibuat tanpa sepengetahuan atasannya.
Tim kuasa hukum Nahwa juga mengungkap adanya kejanggalan dalam dokumen Surat Keputusan Wali Kota Nomor 679 terkait pengangkatan Agus Salim sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Anehnya, SK tersebut tertanggal Oktober 2020, namun terdapat tanda tangan Agus Salim di kuitansi bulan Juli dan Agustus.
“Jelas ini janggal. SK-nya baru keluar bulan 10, tapi Agus sudah tanda tangan sebagai KPA di bulan 7 dan 8. Kami curiga ada pemalsuan dokumen,” kata Muswanto.
Lebih parah lagi, SK yang dihadirkan jaksa hanya berupa salinan legalisir, bukan dokumen asli. Bahkan saat hakim meminta SK asli, jaksa tak mampu menunjukkannya.
Dalam sidang 26 Juni, terungkap pula dugaan intimidasi terhadap saksi Heldamayanti, staf Sekda. Ia mengaku sempat dipaksa mengikuti skenario jaksa dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan diancam akan dijadikan tersangka jika menolak.
“BAP itu tidak benar, saya dipaksa. Padahal tidak ada yang bisa masuk ke ruang Sekda tanpa seizin saya,” kata Heldamayanti sambil menangis.
Saksi Ariyuli Ningsih juga menguatkan bahwa dirinya hanya dua kali setahun masuk ke ruang Sekda, itupun untuk urusan makanan.
Fakta mencengangkan lainnya adalah keterlibatan mantan Wakil Wali Kota Kendari, Siska Karina Imran, yang kini menjabat sebagai Wali Kota. Hal ini diungkap saksi Asnita Malaka, mantan staf pribadi Siska.
Dalam keterangannya, Asnita mengaku diperintah langsung oleh Siska untuk “mencubit-cubit” anggaran dari pos lain, bahkan membuat SPJ fiktif atas nama Siska.
“Beberapa kwitansi fiktif itu untuk pembelian pulsa yang dibayarkan ke toko milik mantan staf travel langganan Wali Kota. Nilainya Rp70 juta,” ungkap Muswanto.
Selain itu, disebutkan pula bahwa uang senilai Rp28 juta masuk ke rekening pribadi Siska, yang bertentangan dengan aturan penggunaan DPA.
Melihat fakta-fakta tersebut, kuasa hukum Nahwa meminta majelis hakim menghadirkan Siska Karina Imran di persidangan untuk dikonfrontir dengan Asnita Malaka.
“Kalau pun tidak, minimal Asnita ditetapkan sebagai tersangka karena keterangannya sangat signifikan dalam kasus ini,” tegas Muswanto.
Ia menilai, JPU telah bersikap tidak adil, tebang pilih, dan tidak objektif. Bahkan, Muswanto menyebut JPU seperti menjadi kuasa hukum tidak resmi bagi Wali Kota Kendari.
“Jaksa seharusnya menjunjung tinggi prinsip praduga tak bersalah dan menyampaikan fakta secara utuh, bukan menutup-nutupi,” tegasnya.
Beberapa nama seperti Hardiana, Asnita Malaka, Jahuddin, dan Alimin disebut sebagai pihak yang seharusnya turut dijadikan tersangka. Salah satu sorotan adalah Jahuddin sebagai PPTK sejak awal 2020 yang lalai dalam memverifikasi dokumen pemeriksaan barang dari lima kasubbag.
“Jika dokumen itu diperiksa dengan benar, tidak akan ada pencairan anggaran bermasalah. Tapi tanggung jawab itu malah dialihkan ke Sekda,” jelas Muswanto.
Kuasa hukum berharap, majelis hakim tidak terbawa arus opini publik atau tekanan eksternal dan fokus pada fakta persidangan.
“Kami ingin keadilan ditegakkan secara transparan. Jangan sampai Nahwa Umar dikorbankan untuk menutupi aktor-aktor sesungguhnya,” pungkas Muswanto.
Laporan: Krismawan





















