Indosultra.com, Kendari – Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Ir. Hugua, secara resmi membuka kegiatan bertajuk “Literasi Keuangan dan Edukasi Statistik untuk Ekonomi Inklusif melalui Sinergi dan Kolaborasi Menuju Sensus Ekonomi 2026”, yang digelar di Ruang Pola Bahteramas, Kantor Gubernur Sultra, Selasa (22/7/2025).
Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya awal Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra dalam menyosialisasikan rencana pelaksanaan Sensus Ekonomi (SE) 2026 sekaligus memperkuat pemahaman masyarakat terhadap pentingnya data statistik dan literasi keuangan sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berdaya saing.
Plt. Kepala BPS Sultra, Andi Kurniawan, menyampaikan bahwa Sensus Ekonomi merupakan amanat undang-undang yang dilaksanakan setiap 10 tahun sekali, sejajar dengan Sensus Penduduk dan Sensus Pertanian. Menurutnya, SE 2026 akan jadi momen strategis untuk memperkuat basis data ekonomi Indonesia.
“Kegiatan ini bukan sekadar seremoni, tapi ajakan bagi semua unsur pemerintah, dunia usaha, akademisi, media, dan masyarakat untuk memahami pentingnya data statistik dalam pengambilan keputusan. Tanpa data yang kuat, pembangunan ekonomi yang inklusif sulit dicapai,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya partisipasi pelaku UMKM dalam sensus nanti agar data yang dihasilkan lebih akurat dan mencerminkan kondisi riil perekonomian daerah.
Sementara itu, Wakil Gubernur Sultra, Ir. Hugua, dalam sambutannya menegaskan bahwa kegiatan ini sangat strategis bagi pembangunan daerah. Ia menyayangkan masih banyak pihak yang menyepelekan kegiatan semacam ini dan hanya mengirim perwakilan setingkat eselon bawah.
“Bicara literasi keuangan dan statistik bukan cuma soal teori. Ini adalah soal bagaimana kita memahami sistem yang menggerakkan ekonomi, bagaimana uang bekerja, bagaimana kita mengaksesnya, dan bagaimana menghadapi risiko-risikonya,” kata Hugua.
Menurutnya, banyak masyarakat, termasuk petani, nelayan, ASN, bahkan pelaku UMKM belum memahami secara utuh sistem keuangan dan institusi yang mengelolanya. Hal ini menjadi penghambat utama dalam mendorong mereka naik kelas.
“Uang itu bukan hanya berapa yang kita pegang, tapi bagaimana sistemnya bekerja. Tanpa pemahaman ini, kita akan terus terjebak dalam lingkaran usaha kecil yang sulit berkembang,” tegasnya.
Hugua juga mencontohkan bagaimana perusahaan besar seperti Indomaret menggunakan data statistik untuk menentukan lokasi usaha berdasarkan peta demografi dan daya beli. Hal serupa, katanya, bisa diterapkan UMKM agar lebih tepat sasaran dalam mengembangkan usaha.
“Statistik itu bukan sekadar angka. Ia adalah peta jalan. Kalau kita ingin UMKM kita naik kelas, maka data dan sistem keuangan adalah dua instrumen penting yang tidak bisa dipisahkan,” katanya.
Dari hasil Sensus Ekonomi 2016, hanya 1% pelaku usaha di Indonesia yang masuk kategori usaha besar. Sisanya 99% adalah pelaku usaha mikro dan kecil. Ini menjadi tantangan bersama dalam mendorong pelaku usaha lokal naik kelas seiring status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah.
Kegiatan ini menjadi wujud nyata dari sinergi lintas sektor dalam membangun sistem ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Dengan adanya literasi keuangan dan edukasi statistik ini, diharapkan masyarakat dapat lebih bijak dalam mengelola keuangan, memahami risiko dan peluang ekonomi, serta mendukung pelaksanaan sensus secara aktif.
Laporan: Krismawan
























