Indosultra.com, Kendari – Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi anggaran makan minum Sekretariat Daerah (Setda) Kota Kendari tahun 2020 kembali digelar di Pengadilan Negeri Kendari, Senin (4/8/2025). Perkara ini menyeret tiga terdakwa: mantan Sekda Nahwa Umar, eks Bendahara Setda Ningsih, dan Muchlis selaku pembantu bendahara.
Memasuki sidang ke-16, puluhan saksi telah diperiksa sebelumnya. Kali ini, tim kuasa hukum Nahwa Umar menghadirkan saksi ahli tata kelola keuangan daerah, yakni Syarifuddin , yang juga dikenal sebagai mantan Penjabat Gubernur Jawa Tengah.
Sidang berlangsung di ruang Kusumah Atmadja PN Kendari, dipimpin oleh hakim Arya Putra Negara Kutawaringin.
Dalam kesaksiannya, Syarifuddin Udu menjelaskan panjang lebar tentang mekanisme pengelolaan keuangan daerah, mulai dari tahap perencanaan hingga pencairan dana. Ia menegaskan bahwa dalam sistem keuangan pemerintahan, terdapat pembagian kewenangan yang jelas dan bertingkat.
“Kewenangan itu bisa berupa atributif, delegatif, atau mandat. Dalam kasus ini, penting dibedakan: jika kewenangan bersifat delegasi, maka tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan penerima delegasi, seperti bendahara atau PPTK, bukan pada pengguna anggaran (PA),” tegasnya.
Menurutnya, sistem administrasi keuangan tidak serta-merta menjadikan PA sebagai pihak yang otomatis bertanggung jawab jika terjadi penyimpangan. Sebab, dalam praktiknya, sebagian kewenangan teknis kerap dilimpahkan kepada pejabat lain yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan.
“Kalau SPM ditandatangani PA tapi pengeluaran yang tidak sah berasal dari proses yang sudah dilimpahkan, maka PA tidak serta-merta bisa dipersalahkan. Harus dilihat siapa yang menerima delegasi kewenangan,” lanjutnya.
Ia juga mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa pelimpahan kewenangan membawa konsekuensi hukum berbeda tergantung bentuknya apakah atributif, delegasi, atau mandat.
Lebih lanjut, Syarifuddin menjabarkan bahwa dalam rantai proses pencairan anggaran, terdapat beberapa tahapan yang melibatkan pejabat teknis. Mulai dari penerbitan SPP (Surat Permintaan Pembayaran) oleh bendahara, pengesahan dokumen oleh PPTK, hingga pembuatan draf SPM (Surat Perintah Membayar) yang ditandatangani oleh PA.
“Semua tahapan itu harus memenuhi syarat administratif. Kalau dokumen yang diajukan tidak sah, maka tanggung jawab awal ada pada pejabat teknis di bawahnya, bukan serta-merta pada PA yang bertindak berdasarkan hasil verifikasi mereka,” ujarnya.
Dalam sidang ini, penekanan ahli menjadi penting untuk menentukan batas tanggung jawab masing-masing terdakwa dalam perkara dugaan korupsi anggaran makan minum senilai ratusan juta rupiah tersebut.
Laporan: Krismawan
































