Indosultra.com, Kendari – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kendari menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama warga terkait polemik pengelolaan pasir di Kecamatan Nambo dan Petoaha, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Warga resah karena lahan mereka yang telah bersertifikat diduga masuk ke dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) milik empat perusahaan tanpa persetujuan masyarakat. Padahal, ratusan jiwa di dua kecamatan itu menggantungkan hidup dari aktivitas pemotongan pasir.
Lurah Petoaha, Yamin, menyebutkan, setidaknya 50 kepala keluarga (KK) di Petualang dan 100 KK lainnya di wilayah Petoaha bergantung pada usaha pasir. “Harapan masyarakat supaya cepat dilegalkan. Ada RTRW-nya agar mereka bisa kelola wilayah sendiri, karena sekarang semua tanah di sana sudah bersertifikat,” ujarnya.
Sementara itu, Lurah Nambo, Hasanuddin, menuding izin WIUP yang dikeluarkan pemerintah provinsi cacat prosedur karena tidak melibatkan masyarakat. Empat perusahaan yang disebut memiliki WIUP tersebut yakni PT Citra Moramo Sejahtera, PT Asri Nambo Perkasa, PT Pasifik Nambo Sejahtera, dan PT KKIT.
“Harusnya ada persetujuan resmi dengan tanda tangan masyarakat. Faktanya, warga tidak tahu, tiba-tiba tanah mereka sudah masuk WIUP. Ini sepihak dan menjadi masalah besar,” tegas Hasanuddin.
Ia menyebut, luas lahan yang tercaplok WIUP di Nambo lebih dari 320 hektare, sebagian bahkan masuk kawasan hutan produksi.
Anggota DPRD Kota Kendari, La Ode Lawama, memastikan pihaknya sudah menerima laporan masyarakat. Ia menilai penerbitan WIUP di 12 kelurahan di dua kecamatan tersebut cacat hukum.
“Tidak mungkin tanah warga yang sudah bersertifikat bisa dicabut hanya karena ada WIUP. Itu inkonstitusional dan ilegal, karena tidak ada alas hak yang sah,” tegasnya.
DPRD diminta segera menindaklanjuti persoalan ini agar kepastian hukum masyarakat tetap terjamin. Warga pun menyatakan dengan tegas menolak lahannya masuk WIUP tanpa persetujuan.
Laporan: Krismawan

































