Indosultra.com, Kendari – Perjuangan panjang rakyat Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara (Sultra), akhirnya berbuah manis. Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta PT Gema Kreasi Perdana (GKP) anak usaha Harita Group. Putusan ini menegaskan kemenangan rakyat atas tambang nikel yang mengancam kehidupan di pulau kecil itu.
Melalui Putusan PK Nomor 83 PK/TUN/TF/2025, MA menguatkan pencabutan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT GKP. Artinya, izin tambang nikel di Pulau Wawonii resmi gugur secara hukum.
Konflik tambang di Wawonii bermula dari SK Menteri Kehutanan No. SK.576/Menhut-II/2014 yang memberi izin tambang seluas lebih dari 700 hektare. Padahal, Pulau Wawonii hanya memiliki luas sekitar 867 km², dihuni lebih dari 43 ribu jiwa, dan secara hukum termasuk kategori pulau kecil yang dilarang ditambang.
Sejak alat berat PT GKP masuk pada akhir 2019, ruang hidup warga berubah drastis. Kebun rusak, sumber air mengering, laut keruh, hingga konflik sosial pecah. Puluhan warga bahkan dikriminalisasi karena mempertahankan tanahnya.
Namun rakyat tak tinggal diam. Bersama jaringan advokasi lingkungan seperti JATAM, WALHI, YLBHI, KIARA, dan Trend Asia, mereka menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Pada 7 Oktober 2024, Mahkamah Agung lebih dulu mengabulkan kasasi warga melalui putusan 403 K/TUN/TF/2024, membatalkan izin tambang GKP dan menyatakan bahwa kepastian hukum investasi tidak boleh mengorbankan keselamatan rakyat dan ekologi.
Putusan itu kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan keluarnya SK Menteri Kehutanan No. 264/2025 yang secara resmi mencabut IPPKH PT GKP. Kini, kemenangan rakyat Wawonii kembali dipertegas di tingkat Peninjauan Kembali (PK).
Koordinator JATAM, Muhammad Jamil, menyebut kemenangan ini bukan sekadar urusan legalitas tambang, melainkan menyangkut “hidup dan mati” masyarakat pulau kecil.
“Ketika tambang merusak tanah, pesisir, dan laut maka terputuslah hubungan yang menopang kehidupan warga. Itu sama saja dengan pembunuhan yang dibungkus atas nama transisi energi dan nikel hijau,” ujarnya, Rabu (5/10/2025).
Sementara itu, Teo Reffelsen dari WALHI menegaskan bahwa pemerintah harus segera mencabut seluruh izin industri ekstraktif di pulau-pulau kecil, mengingat data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat masih ada 226 izin pertambangan di 477 pulau kecil di Indonesia.
“Aktivitas tambang di pulau kecil termasuk kategori ultra hazardous activity sangat berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat,” tegas Teo.
Secara hukum, larangan tambang di pulau kecil sudah jelas tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 juga menegaskan bahwa pulau kecil memiliki perlindungan khusus dan tidak boleh dijadikan lokasi tambang karena bertentangan dengan prinsip keberlanjutan.
“Putusan MA ini adalah tonggak penting bagi penegakan hak asasi manusia dan prinsip negara hukum,” ujar Edy K. Wahid dari YLBHI.
“Negara wajib melindungi ruang hidup rakyat pulau kecil dan menghentikan praktik ekstraktivisme yang merampas penghidupan mereka,” tambahnya.
Kemenangan Wawonii menjadi sinyal kuat bagi pemerintah untuk meninjau ulang seluruh izin tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil Indonesia dari Raja Ampat, Maluku, hingga pulau-pulau timur lainnya.
“Jika Presiden dan kementerian benar-benar berpihak pada rakyat, sudah saatnya menerapkan moratorium nasional tambang di pulau kecil,” tegas TAPaK dalam pernyataannya.
Pulau-pulau kecil adalah benteng terakhir ekologi dan peradaban Indonesia. Putusan ini bukan akhir perjuangan, melainkan awal dari penataan ulang arah pembangunan agar sejalan dengan keadilan lingkungan dan kemanusiaan.
Laporan: Krismawan




























































