Indosultra.com, Kendari – Dalam momentum peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kendari bersama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tenggara menyuarakan perlawanan terhadap dominasi oligarki dan militerisme, dua kekuatan yang dinilai menjadi ancaman nyata bagi demokrasi, kebebasan pers, serta hak-hak dasar jurnalis sebagai pekerja.
Dengan mengusung tema “Oligarki dan Militerisme Adalah Musuh Bersama”, AJI dan IJTI Kendari menegaskan bahwa perjuangan buruh bukan hanya milik pekerja pabrik dan industri, tetapi juga menyangkut nasib jurnalis dan pekerja media yang terus terpinggirkan dalam sistem ketenagakerjaan yang eksploitatif.
AJI menyoroti kuatnya dominasi oligarki dalam industri media Indonesia. Konsentrasi kepemilikan yang sempit telah menggerus independensi redaksi dan menjadikan media sebagai alat propaganda segelintir elit.
“Media kehilangan perannya sebagai ruang publik, berubah menjadi corong kepentingan politik dan bisnis. Kebenaran dipertaruhkan, jurnalis dibungkam,” tegas Ketua AJI Kendari Nursadah.
Represi terhadap jurnalis di lapangan juga disoroti. Kekerasan oleh aparat saat peliputan aksi, pengusiran paksa dari lokasi konflik, hingga kriminalisasi dengan Undang-Undang ITE menunjukkan bagaimana militerisme membungkam kebebasan berekspresi.
“Militerisme tidak hanya menindas rakyat, tapi juga membungkam jurnalis yang bekerja untuk kepentingan publik,” ujarnya.
Kondisi pekerja media di Tanah Air juga memprihatinkan. Survei nasional AJI Indonesia bertajuk “Wajah Jurnalis Indonesia 2025” mengungkap bahwa mayoritas jurnalis masih menerima upah rendah dan bekerja tanpa status hukum yang jelas. PHK terus terjadi, diperparah oleh disrupsi digital dan lemahnya perlindungan hukum.
Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida, menyebut banyak jurnalis dipaksa bekerja bertahun-tahun dengan status kontrak atau kemitraan yang tidak manusiawi.
“Tak ada jaminan sosial, perlindungan hukum pun nihil. Ini bentuk kekerasan ekonomi yang terstruktur,” tegasnya.
Meskipun Mahkamah Konstitusi telah membatalkan klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja, banyak perusahaan media masih menjadikan undang-undang tersebut sebagai acuan. AJI menilai lemahnya pengawasan negara membuka ruang lebar bagi pelanggaran terhadap hak-hak buruh media.
AJI dan IJTI Kendari juga menyoroti minimnya kesadaran berserikat di kalangan jurnalis. Narasi yang menyesatkan bahwa jurnalis bukan buruh masih dipelihara perusahaan untuk melemahkan posisi tawar. AJI menegaskan, jurnalis adalah bagian dari kelas pekerja dan berhak memperjuangkan hak kolektifnya melalui serikat.
Laporan: Krismawan




