Penetapan Tersangka KDRT Bos Tambang Mandek, Penyidik Polda Sultra Diduga Ditekan Orang Mabes dan DPR

Indosultra.com,Kendari – Proses penetapan tersangka terhadap bos tambang, M. Fajar, dalam kasus dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mandek di meja penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sulawesi Tenggara. Padahal, status perkara ini telah resmi naik ke tahap penyidikan sejak 18 Juli 2025.

Ironisnya, nama M. Fajar telah tercatat sebagai tersangka di laman resmi Case Management System (CMS) milik Kejaksaan Agung RI — cms-publik.kejaksaan.go.id, dengan nomor SPDP: SPDP/98/VII/RES.1.24/Ditreskrimum/ tertanggal 17 Juli 2025, dan diterima Kejati Sultra sehari setelahnya.

Namun hingga berita ini diturunkan, penyidik Ditreskrimum belum menetapkan secara resmi M. Fajar sebagai tersangka. Alasannya diduga kuat karena penyidik mendapat tekanan dari pihak “atas”, termasuk oknum di Mabes Polri dan Komisi III DPR RI.

Kasus ini mencuat setelah istri M. Fajar, berinisial HJR (28), melapor ke Polda Sultra atas dugaan penganiayaan yang terjadi dalam rumah tangganya sejak September 2024. Namun, hingga kini, korban masih menanti kejelasan hukum yang tak kunjung ditegakkan.

Kuasa hukum HJR, Andri Darmawan, menyebut langsung bahwa penyidik sendiri mengakui ketakutan dalam menetapkan M. Fajar sebagai tersangka.

“Penyidik bilang, seharusnya Fajar sudah jadi tersangka. Tapi mereka takut karena intervensi. Bahkan menurut informasi, M. Fajar sudah minta bantuan ke Komisi III DPR RI,” ujar Andri kepada wartawan, Selasa (5/8/2025).

Andri, yang juga Ketua LBH HAMI Sultra, memberikan ultimatum: jika dalam pekan ini tidak ada penetapan resmi tersangka, ia akan melaporkan penyidik ke Propam dan Wassidik Mabes Polri.

Menanggapi kabar intervensi, Kabid Humas Polda Sultra, Kombes Pol Iis Kristian, menampik mengetahui adanya tekanan dari Mabes maupun DPR.

“Tidak tahu, tidak tahu,” ujarnya singkat.

Ia beralasan, proses hukum masih berjalan karena ada saksi yang belum diperiksa. Setelah alat bukti lengkap, barulah digelar perkara untuk menentukan status hukum Fajar.

Kekerasan yang dialami HJR tidak berhenti pada fisik. Ia mengaku telah disiksa berkali-kali oleh suaminya, bahkan sejak mengandung anak pertama mereka.

“KDRT pertama terjadi saat saya hamil dua bulan. Pemicunya hal sepele saya hanya bertanya soal perempuan yang minta uang lewat WhatsApp. Suami saya marah dan langsung memukul,” tutur HJR dengan mata berkaca-kaca, saat ditemui di Kendari, Selasa (22/7/2025).

Total, HJR menyebut telah mengalami lima kali KDRT, dengan puncaknya pada 2 September 2024, yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit. KDRT tersebut bahkan disaksikan langsung oleh asisten rumah tangganya.

Lebih dari itu, korban mengaku mengalami trauma berat akibat tekanan psikologis dan ancaman pembunuhan menggunakan pistol airsoftgun.

Tak hanya menjadi korban, HJR juga harus menghadapi tekanan hukum dari suaminya sendiri, yang balik melayangkan tiga laporan polisi terhadapnya, sehingga sempat ragu melapor karena posisi mental dan hukum yang lemah.

“Saya takut. Rumah tangga kami masih seumur jagung, anak masih bayi. Tapi akhirnya saya lapor, karena tidak tahan lagi dan demi keselamatan diri,” ujar HJR.

M. Fajar disangkakan melanggar Pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun.

Kasus ini pun kini menjadi sorotan publik, karena menyeret nama besar bos tambang, dugaan intervensi kekuasaan, serta lambannya kerja penyidik yang semestinya netral dan profesional.

Andri Darmawan menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan ditegakkan.

“Hukum jangan tumpul ke atas. Korban sudah cukup menderita. Jika penyidik tidak bertindak, kami yang akan bertindak secara hukum,” pungkasnya.

Laporan: Krismawan

















koran indosultra pkk konawe utara konut




IKLAN KORAN






Koran Indosultra
error: Hak cipta dilindungi undang-undang !!