Indosultra.com, Kendari – Kasus yang menjerat Kompol HS, anggota Kedokteran Kepolisian (Dokpol) Rumah Sakit Bhayangkara Kendari, tengah menyedot perhatian publik Sulawesi Tenggara.
Seorang wanita berinisial H (29) melaporkannya ke Bidpropam Polda Sultra dengan tuduhan pemerkosaan dan perampasan barang. Namun, tudingan tersebut segera dibantah keras oleh HS yang mengklaim bahwa dirinya dan pelapor sudah menjalin hubungan asmara selama dua tahun.
Dua narasi kini saling bertabrakan. Di satu sisi, pelapor menggambarkan peristiwa sebagai tindakan paksaan dan pelecehan, sementara di sisi lain, terlapor menegaskan bahwa hubungan tersebut bersifat suka sama suka dan berlangsung lama.
Beda Versi, Beda Narasi
Dalam laporannya, H menuturkan bahwa HS memaksanya ikut ke hotel di Unaaha dengan mengambil ponsel dan jaket korban. Ia mengaku kemudian dipaksa berhubungan badan, meski sebelumnya telah menolak ajakan serupa. Menurut pengacara korban, tindakan HS bukan hanya pelanggaran etik, tetapi juga memiliki unsur tindak pidana.
Namun, HS memiliki cerita berbeda. Dalam konferensi persnya, ia menyebut tidak ada paksaan sama sekali.
“Kami memang ada kesalahpahaman di jalan, lalu sepakat berbicara di hotel. Tidak ada pemaksaan dan tidak ada tindakan seperti yang dituduhkan,” katanya.
HS juga mengaku hubungan asmara mereka diketahui keluarga H, bahkan ia pernah beberapa kali datang ke rumah keluarga sang wanita.
Motif dan Persepsi Publik
Kasus seperti ini kerap memunculkan spekulasi publik terutama karena melibatkan aparat kepolisian. Dalam pandangan sosial, hubungan pribadi antara aparat dan warga sipil seringkali berujung rumit saat muncul konflik emosional atau ekonomi.
Pernyataan HS yang menyebut bahwa dirinya sering membantu korban secara materi termasuk membelikan ponsel dan barang pribadi bisa memperkuat persepsi publik bahwa hubungan mereka bersifat personal, bukan profesional. Namun di sisi lain, pengakuan korban bahwa hubungan mereka sudah berakhir saat kejadian justru membuka ruang bagi tafsir adanya penyalahgunaan posisi dan kepercayaan.
Tantangan Etika dan Hukum bagi Polisi
Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan, kasus ini menjadi ujian bagi institusi Polri, khususnya Bidpropam Polda Sultra. Penanganan yang transparan akan menjadi kunci untuk menjaga kredibilitas kepolisian di mata publik.
Jika terbukti melakukan pelanggaran etik atau pidana, maka HS berpotensi menghadapi sanksi ganda baik secara internal maupun hukum umum. Namun, jika tuduhan tersebut tidak berdasar, maka pemulihan nama baik juga menjadi hal penting bagi terlapor.
Menanti Fakta di Meja Penyidik
Hingga kini, penyidik Bidpropam masih memeriksa laporan dan keterangan kedua pihak. Saling klaim yang muncul di ruang publik menandakan bahwa kasus ini tidak sesederhana hubungan pribadi yang retak, melainkan menyentuh isu serius: kekerasan, integritas aparat, dan kredibilitas hukum.
Publik kini menanti langkah objektif kepolisian untuk memastikan apakah kasus ini murni persoalan hubungan asmara yang berujung konflik, atau benar mengandung unsur pelanggaran etik dan pidana.
Satu hal yang pasti di tengah derasnya arus opini publik, keadilan hanya dapat berdiri tegak di atas fakta, bukan perasaan.
Laporan: Krismawan


































