Indosultra.com, Kendari – Sejumlah personel Reskrim Polsek Poasia, Polresta Kendari, tengah menjalani pemeriksaan kode etik oleh Bidang Propam Polda Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pemeriksaan ini dilakukan setelah adanya laporan dugaan penganiayaan terhadap seorang pemuda berinisial AC (26) saat penangkapan di sebuah kos-kosan Lorong Aklamasi, Kelurahan Anduonohu, Kecamatan Poasia, Rabu (23/7/2025) dini hari.
Dalam surat perintah penangkapan yang ditandatangani Kapolsek Poasia, AKP Samsir Bahar, terdapat nama lima penyidik, yakni IPTU Dahlan, Aiptu La Samidin, Aiptu Awaluddin, Aiptu Marsaban, Aipda Yusrin Ngii, serta Bripka Cosmas Slamet.
Namun, proses penangkapan AC menuai sorotan. Korban diduga dianiaya sejumlah anggota hingga mengalami luka serius di wajah, leher, dan paha. Bahkan, AC sempat pincang dan nyaris lumpuh ketika dimasukkan ke sel tahanan Polsek Poasia.
Orang tua AC, WOH, melaporkan dugaan penyiksaan tersebut ke Propam Polda Sultra. Hasil penyelidikan menemukan cukup bukti pelanggaran Kode Etik Profesi Polri. Berdasarkan SP2HP Propam Polda Sultra bernomor: B1/834/VIII/HUK.12/2025/Bidpropam, perkara dinaikkan ke tahap pemeriksaan etik.
“Ditemukan cukup bukti telah terjadi pelanggaran Kode Etik Profesi Polri oleh personel Polsek Poasia. Akan dilakukan pemeriksaan etik oleh Subbidwabprof Bidpropam Polda Sultra,” demikian bunyi SP2HP tersebut.
Kendati demikian, pihak Propam tidak merinci berapa jumlah personel yang kini diperiksa. Kabid Propam Polda Sultra Kombes Pol Eko Tjahyo Untoro maupun Humas Propam IPDA Nasaruddin tidak merespons konfirmasi jurnalis. Hal serupa juga dilakukan Kapolsek Poasia, AKP Samsir Bahar, yang memilih bungkam bahkan memblokir WhatsApp jurnalis.
Sepupu korban, DS (23), mengungkapkan penangkapan terjadi saat AC sedang bersama kekasihnya di dalam kamar kos. Sejumlah polisi berpakaian preman tiba-tiba masuk tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan.
“AC masih tidur. Begitu dipastikan dia ada di kamar, langsung diborgol, diinjak, dicekik, dipukul di kepala, bahkan ditendang berkali-kali,” beber DS.
Meski tak melawan, AC tetap dianiaya hingga babak belur sebelum dibawa ke mobil polisi. Lebih ironis, setelah luka-luka, ia tidak mendapat perawatan medis. Polisi hanya meminta orang tua korban membeli obat dan membawanya ke sel tahanan.
WOH pun geram melihat kondisi anaknya yang kesulitan berdiri saat dijenguk.
“Kalau dia salah, silakan ditangkap. Tapi jangan dipukul seperti binatang sampai pincang. Polisi kok begini caranya?” kesalnya.
WOH juga mengaku baru menerima surat perintah penangkapan 12 jam setelah anaknya ditahan. Ia menolak menandatangani berita acara karena menilai prosedur dilanggar.
Kanit Reskrim Polsek Poasia, IPTU Dahlan, menyebut AC ditangkap terkait laporan pencurian beras dan puluhan rak telur di Pasar Anduonohu. Namun, ia mengakui surat penangkapan baru diserahkan kepada orang tua AC setelah 12 jam penangkapan.
“Soal dugaan penganiayaan, saya tidak tahu. Penangkapan dilakukan bagian opsnal,” ujar Dahlan singkat.
Saat ini, Propam Polda Sultra masih memproses pemeriksaan etik terhadap personel Polsek Poasia yang diduga terlibat. Kasus ini menambah panjang daftar sorotan publik terhadap profesionalisme aparat kepolisian di Sulawesi Tenggara.
Laporan: Krismawan





























