Indosultra.com, Kendari – Meningkatnya kasus bunuh diri di Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam beberapa waktu terakhir menjadi perhatian serius berbagai pihak.
Dosen Psikologi Universitas Halu Oleo (UHO) sekaligus Psikolog Klinis di UPTD PPA Kota Kendari, Astri Yunita, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menilai fenomena ini sebagai tanda bahaya yang menunjukkan situasi darurat kesehatan mental di masyarakat.
Dalam wawancaranya, Astri menjelaskan bahwa tindakan bunuh diri tidak selalu berkaitan langsung dengan gangguan mental yang telah terdiagnosis.
“Bunuh diri merupakan hasil dari interaksi kompleks berbagai faktor mulai dari biologis, sosial, stres psikososial, hingga kesehatan mental individu,” ujarnya, Senin (2/6/2025).
Menurutnya, seseorang bisa saja tampak baik-baik saja namun menyimpan tekanan berat di dalam dirinya. Ketika tekanan itu tidak tertangani dengan tepat, dan individu tidak memiliki akses atau kesadaran untuk mencari bantuan profesional, maka risiko bunuh diri bisa meningkat.
“Terlebih bila tidak ada dukungan sosial, literasi kesehatan mental yang rendah, dan rendahnya ketangguhan dalam menghadapi stres,” katanya.
Astri menekankan, tidak semua orang yang bunuh diri memiliki diagnosis klinis sebelumnya. Namun, gejala-gejala awal sering bisa dikenali dari perubahan perilaku sehari-hari.
“Ciri-ciri seperti rasa cemas berlebihan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah, mudah marah, mudah kecewa, dan merasa putus asa adalah tanda-tanda yang perlu diwaspadai,” jelasnya.
Ketika gejala tersebut mulai mengganggu aktivitas dan hubungan sosial, seperti sering bertengkar dengan pasangan atau tidak mampu bangkit dari kegagalan, inilah saatnya untuk mencari bantuan profesional. “Psikolog Klinis atau Psikiater dapat membantu melalui proses asesmen dan terapi yang tepat,” tambahnya.
Lebih lanjut, Astri menjelaskan bahwa faktor gaya hidup modern turut berkontribusi terhadap kerentanan mental. Ketergantungan pada gadget, media sosial, dan minimnya interaksi sosial di dunia nyata dapat memperburuk isolasi emosional.
“Namun tetap, tidak ada satu faktor tunggal penyebab bunuh diri. Ini adalah gabungan antara tekanan ekonomi, trauma masa kecil, faktor biologis, hingga ketidakseimbangan emosi,” terangnya.
Kondisi sosial seperti terlilit utang, pemutusan hubungan kerja, atau konflik keluarga juga kerap menjadi pemicu. Ia menegaskan, masalah ekonomi atau hubungan hanyalah pemantik. Tanpa daya tahan emosional dan sistem pendukung, seseorang bisa terdorong mengambil jalan pintas.
Menanggapi meningkatnya kasus di Sultra, Astri menyebut ini sebagai fenomena yang perlu segera ditanggapi serius oleh semua pihak. Ia menyebut istilah *copycat suicide*, yakni tindakan bunuh diri yang ditiru dari kasus sebelumnya, apalagi jika dipublikasikan secara luas di media.
“Remaja dan individu yang sedang krisis bisa sangat terpengaruh oleh narasi media. Mereka bisa belajar dari lingkungan dan meniru perilaku tersebut,” jelasnya.
Untuk itu, Astri mendorong pemerintah membangun sistem pendukung yang kuat mulai dari tingkat keluarga hingga institusi pendidikan.
“Sekolah harus menjadi tempat yang peka terhadap isu kesehatan mental. Guru perlu dibekali kemampuan konseling dasar,” ungkapnya.
Ia juga menyerukan agar pemerintah memperbanyak tenaga Psikolog Klinis di puskesmas, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. “Perlu ada psikoedukasi massal dan kampanye kesadaran kesehatan mental secara menyeluruh,” tegasnya.
Lonjakan kasus bunuh diri di Sultra bukan sekadar berita, tetapi alarm keras bagi kita semua. Saat individu kehilangan harapan, tak memiliki tempat bercerita, dan merasa tidak ada jalan keluar, di situlah kita harus hadir. Dalam dunia yang semakin kompleks, kesehatan mental bukan lagi isu personal, tapi tanggung jawab sosial bersama.
Laporan: Krismawan









