Nasionalisme Argentina, Inflasi dan Juara Dunia.

Indosultra.com, OPINI– Kita tidak harus melihat di pusat kota Buenos Aires ketika Argentina pulang dan membawa bintang ketiga dari Qatar. Era Mario Kempes dengan bintang pertamanya, Maradona dengan bintang kedua kini berhasil dituntaskan dengan bintang ketiga di era Lionel Messi. Sang dewa yang selama ini dilahirkan secara harfiah di Rosario namun dilahirkan secara magis di La Masia. Sudah lima edisi piala dunia Leo memperjuangkan gelar ketiga bagi El Tango, mulai dari Jerman 2006, Afrika Selatan 2010, Brazil 2014 sampai Russia 2018. Pecah telur bagi pemilik tujuh gelar Ballon Do’r tersebut akhirnya bisa terjadi di Lusail Iconic Stadium, Qatar melalui drama adu penalty yang sekaligus misi Les Blues untuk bisa back to back gelar juara dunia. Tercatat lebih dari 86.000 penonton yang datang tertangkap kamera berisi supporter fanatik timnas Argentina dengan jersey biru putih dan aksen matahari. Beberapa membawa genderang berlogo Maradona atau Messi yang seakan akan sudah dianggap dewa oleh Masyarakat Argentina.

Lalu apakah hal tersebut hanya terjadi di partai final tersebut? Jelas tidak. Sejak awal ketika kekalahan mengejutkan dari Arab Saudi, supporter Argentina sudah memadati Qatar dengan jumlah yang melebihi dari kapasitas. Hal hal tersebut kemudian berlanjut ketika melawan Mexico sampai dengan Polandia. Argentina lolos sebagai juara grup meskipun sempat kalah di partai perdana. Kelolosan Argentina ke babak 16 besar ini pula mengundang massa yang lebih banyak lagi, kemenangan 2-1 dari The Socceroos membuat Argentina berhasil menyentuh babak delapan besar dan sesuai bagan akan melawan Belanda. Disinilah segala hal yang mencolok mata itu kini terjadi. Usah membahas partai paling seru tersebut dimana Argentina yang mulanya unggul 2-0 lalu disusul Belanda dengan skor 2-2 via kepahlawanan Wout Weghorst yang menjadi pilar oranye dengan gol tandukannya dan skema freekick luar biasa di ujung laga. Pertandingan kemudian berlanjut ke babak perpanjangan waktu dengan situasi tanpa gol dan berlanjut ke babak adu penalty dimana Argentina berhasil melenggang ke babak semifinal. Namun bukan itu yang menjadi perhatian utamanya. Kita harus melihat dimanapun stadion Argentina bermain di Qatar, di Education City Stadium, di Al Thumama Stadium, di Al Janoub Stadium sampai di Lusail Iconic Stadium, suporter Argentina di setiap fasenya selalu bertambah dan bertambah jumlahnya. Partai melawan Belanda inilah yang menjadi sebab utama dimana tiga ribu fans Belanda harus berhadapan dengan 56.000 fans Argentina. Pertandingan yang berlangsung di Lusail Iconic tersebut seakan akan adalah pertandingan yang dimainkan di Estadio Monumental atau Estadio De La Bombonera. Argentina seakan bermain di rumahnya sendiri dan menerima dukungan yang sangat luar biasa. Usai laga ketika Mac Allister dan kawan kawan merayakan kemenangan sampai ke belakang gawang utara, suasana permainan di rumah tersebut semakin menjadi jadi. Namun kali ini yang dilawan bukan Islandia, atau Nigeria yang mereka sering temui di edisi piala dunia edisi piala dunia sebelumnya. Kali ini yang ditemui adalah Belanda. Yang notabene memiliki kelompok supporter fanatik bukan hanya di dalam lapangan melainkan juga di luar lapangan. Kemanapun De Oranje berlaga dalam partai partai besar, kelompok supporter Belanda kerap kali menunjukkan sisi kedewasaannya yang biasa melanglangbuana di EURO maupun di piala dunia. Mereka biasa membangun camp konsentrasi agar para supporter dari berbagai kalangan bisa bergabung dan merapat demi satu kepentingan yang sama, yakni mendukung timnas Belanda.

Namun kali ini pemandangannya berbeda, supporter Belanda yang kerapkali datang dengan setelan jas sampai dengam baju safari berwarna oranye kali ini dikungkung di belakang gawang sebelah selatam dan tidak diberi ampun oleh para fans Argentina. Lalu bagaimana sebenarnya korelasi geografis dan yang sebenar benarnya ada di piala dunia kali ini? Dalam penyelenggaraannya, terlebih khusus di awal awal, Piala Dunia Qatar mengundang banyak perhatian ketika banyak sekali penduduk Pakistan sampai Bangladesh yang dipekerjakan untuk menjadi supporter setiap negara yang hadir di piala dunia. Mulai dari Inggris, Spanyol, Portugal sampai Brazil. Mereka hadir dan menggunakan atribut negara negara tersebut namun dengan wajah local Asia Selatan. Banyak media mengabarkan mereka adalah suporter bayaran yang dibayar 150 ribu per hari untuk meramaikan piala dunia. Hal ini menimbulkan berbagai asumsi tentang Piala Dunia Qatar yang akan sepi peminat dan kurang hypenya disbanding piala piala sebelumnya, terlebih khusus Piala Dunia 2010 yang sangat ramai mengundang perhatian banyak pasang mata. Tapi hal tersebut hanya terjadi di awal awalnya saja, seiring berjalannya waktu dan bermain permainan piala dunia dari grup A sampai gtup H, stadion stadion berangsur berisi penuh bahkan banyak tiket yang diperebutkan. Situs FIFA pun beberapa kali harus error karena memiliki banyak sekali pengakses.

Lebih dari 13.000 jarak dari Argentina ke Qatar, melewati dua Samudera dan tiga Benua, sejauh itu juga semangat para suporter dalam menembus berbagai barikade stadion, berjalan dan bernyanyi bersama untuk kemenangan Argentina. Di Buenos Aires mereka mungkin suporter Boca Juniors atau River Plate dengan rivalitas tinggi, di jauh disana mereka mungkin suporter Velez Sarsfield atau malah Barra Bravas yang trengginas dalam menguasai segala koridor stadion mulai dari lahan parkirnya sampai tribunnya. Di Argentina mereka berbeda namun di Qatar mereka bersama. Dengan persiapan bekal yang tidak murah tentu saja, para Argentinos harus menabung banyak agar bisa berangkat dan bermukim berhari hari di Qatar. Apakah Argentina adalah negara yang kaya? Tidak juga, kini mereka bahkan menghadapi inflasi yang tinggi dalam sejarah ekonomi negara mereka. Namun tiga kali inflasi tiga kali juga Argentina memenangi Piala Dunia. Dengan cara yang tidak mudah mengalahkan Prancis di final adalah bentuk representasi bahwa mereka juga tidak mudah untuk berangkat ke Qatar. Namun hasil tabungan bertahun tahun yang telah mereka tabung untuk bisa berangkat akhirnya bisa berujung manis dengan membawa piala pulang ke Buenos Aires dan menjahit satu bintang lagi di jersey Argentina.

Argentina Class of 2022. Diego Armando Maradona smiling from above the sky. Vamos Argentina.

Penulis: Fadli Harbiansya,
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammdiyah Malang.

Koran Indosultra Koran Indosultra