Indosultra.com,Konut – Isu seputar pernyataan terkait keberadaan tanah adat di Kabupaten Konawe Utara (Konut) kembali mencuat usai rapat dengar pendapat (Hearing) di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Menanggapi pemberitaan yang beredar di media sosial, Sekretaris Daerah (Sekda), Dr Safruddin, S.Pd.M.Pd
memberikan klarifikasi tegas, bahwa dirinya tidak pernah menyatakan tanah adat di Konawe Utara tidak ada.
Justru dirinya mempertegas sebagai Ketua Lembaga Adat Tolaki (LAT) Konut, tanah adat/ulayat harus di perjuangkan. Namun, di satu sisi sebagai jenderal aparatur sipil negara di Kabupaten Konawe Utara, ia juga menekankan pentingnya legalitas soal administrasi agar sah secara hukum, dan mendapat pengakuan dari negara.
“Saya tidak pernah mengatakan bahwa tanah adat di Konawe Utara itu tidak ada. Siapa yang bilang begitu? Saya hanya berbicara soal mekanisme dan proses penetapannya. Agar mendapat pengakuan hukum dan di akui negara,” tegasnya saat ditemui diruang kerjanya, Selasa (21/10/2025).
Ia menjelaskan, yang dibahas dalam forum RDP di DPRD Provinsi tersebut adalah mekanisme pengakuan dan pengelolaan tanah adat agar memiliki dasar hukum yang kuat.
“Kalau kita sebut tanah adat, tentu masyarakat perlu tahu kapan dan bagaimana pengakuan itu ditetapkan. Tanah leluhur ini wajib kita jaga, lestarikan, dan pertahankan. Tapi juga perlu kita kelola secara bijak apakah lewat kemitraan atau mekanisme lainnya, itu akan dibahas lebih lanjut,” ujarnya.
Menurutnya, pengakuan dari negara menjadi hal penting agar tidak muncul kesan seolah-olah ada “negara di atas negara”. Ia mencontohkan beberapa daerah lain di Sulawesi Tenggara, seperti Bombana, yang telah memiliki pengakuan resmi terhadap tanah adatnya.
“Kita tidak bisa menafikkan bahwa di wilayah kita juga ada struktur adat seperti Walaka, Waworaha, dan PH. Semua itu harus ditetapkan dan diakui secara sah,” tambahnya.
Terkait pemberitaan yang sempat beredar di media online, ia menilai informasi tersebut telah memelintir konteks pernyataannya, sehingga menimbulkan kekeliruan dalam penafsiran.
“Saya tidak pernah menyebut tanah adat, lembaga adat tidak ada. Kalau saya mengatakan begitu, itu sama saja saya kualat pada leluhur saya,” ujarnya menegaskan.
Ia juga mengungkapkan adanya perbedaan titik lokasi antara klaim tanah adat yang dimaksud dalam surat lembaga adat pusat.
“Dalam surat itu disebut blok Marombo, tapi yang diklaim justru blok Matarape. Padahal dua lokasi ini sangat berbeda dan cukup jauh. Jadi saya hanya menjelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman,” jelasnya.
Di akhir keterangannya, ia menekankan bahwa hearing di DPRD Provinsi Sultra tersebut justru menjadi momentum untuk melakukan pembenahan dan memperkuat posisi hukum tanah adat Tolaki.
“Kita tidak bicara kepentingan pribadi, tapi kepentingan leluhur dan adat Tolaki. Saya ingin luruskan, bahwa tidak ada sedikit pun niat saya menafikan keberadaan tanah adat,” tutupnya.***
Laporan: Krismawan





































