Indosultra.com, Kendari – Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, bangsa ini masih menghadapi persoalan mendasar: kesenjangan penegakan hukum. Padahal, sejak 1945 konstitusi kita telah menegaskan asas equality before the law dalam (Pasal 27 ayat 1 UUD 1945) bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan”. Artinya, baik orang miskin maupun kaya seharusnya mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Prinsip ini dipertegas dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan yang sama di depan hukum.” Namun asas fundamental ini kerap mengalami distorsi dalam praktik peradilan.
Fakta empirik menunjukkan adanya diskriminasi kelas sosial dalam proses penegakan hukum.
Fakta Praktis: Kesenjangan Penegakan Hukum Akses Bantuan Hukum: orang miskin sering tidak mampu membayar pengacara, sehingga bergantung pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau advokat pro bono. Sementara orang kaya bisa menyewa pengacara top dengan strategi hukum yang lebih kuat.
Kriminalisasi vs. Impunitas:Kasus kecil (misalnya pencurian makanan karena lapar) bisa berujung pada pidana penjara. Sementara kasus korupsi besar, penggelapan, atau pencucian uang yang merugikan negara lebih besar, sering berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan bebas karena adanya kekuatan finansial dan politik.
Uang dan Kekuasaan:Kemampuan ekonomi memungkinkan “membeli keadilan” melalui praktik suap, gratifikasi, atau lobi politik. Hal ini menyebabkan hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Disisi lain penegakan hukum kesulitan dalam membuktikan kasus si kaya karena sebelum melakukan tindak pidana pelaku sudah memikirkan untuk mendesain dan menghilangkan alat bukti maupun barang bukti agar tidak diketahui penegak hukum dengan mengandalkan kemampuan finansial dan kekuasaan didukung dengan pengacara yang mendampingi.
Berbeda halnya kasus si miskin dilakukan karena kebutuhan terdesak atau keadaan terpaksa tanpa memikirkan apa yang terjadi selanjutnya dan tidak didukung siapapun,sehingga penegak hukum dengan mudah membuktikan tindak pidanannya.
Ketidaksetaraan penegakan hukum merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Masyarakat miskin bisa merasa hukum tidak melindungi mereka, melainkan hanya menindas. Akibatnya, muncul ketidakpatuhan hukum (law disobedience) dan potensi konflik sosial.
Fenomena ini memperlihatkan hukum sering bersifat tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Bagi miskin, hukum pidana dijalankan dengan pendekatan positivistik, menitikberatkan pada kepastian hukum semata tanpa memperhatikan rasa keadilan masyarakat (rechtsgerechtigkeit).
Bagi kaya, hukum kerap dimanipulasi melalui praktik judicial corruption, obstruction of justice, serta penyalahgunaan due process of law untuk melindungi kepentingan oligarki.
Hal ini jelas bertentangan dengan konsep negara hukum (rechtstaat) sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945Solusi Yang Ditawarkan Anator Adalah:
Penguatan Independensi Aparat Penegak HukumReformasi struktural Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan agar bebas dari intervensi politik dan oligarki ekonomi.
Implementasi Nyata Bantuan HukumPemerintah wajib memperluas akses bantuan hukum gratis untuk masyarakat miskin dengan pengawasan ketat, melalui implementasi maksimal UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Transparansi & AkuntabilitasProses hukum harus terbuka untuk publik dengan sistem digitalisasi peradilan yang dapat diakses secara real-time.
Penegakan Kode Etik Tanpa Pandang BuluSanksi tegas terhadap aparat penegak hukum yang terbukti melakukan diskriminasi atau menerima suap.
Reformasi Hukum Pidana agar ada restorative justice bagi perkara kecil yang biasanya menjerat orang miskin.
Edukasi Hukum untuk MasyarakatPeningkatan literasi hukum bagi masyarakat miskin agar lebih sadar akan hak-hak konstitusionalnya.Secara normatif, hukum Indonesia bersifat netral dan nondiskriminatif.
Namun dalam realitas sosiologis, hukum seringkali dikooptasi oleh kekuatan modal dan politik. Akibatnya, penegakan hukum mengalami bias kelas: represif terhadap kaum miskin dan permisif terhadap kaum kaya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia masih berjuang menuju substantive rule of law, karena praktiknya lebih mendekati rule by law yang mengabdi pada kepentingan elit.
Laporan: Krismawan





























