Opini: Bubono -Langsat-

Indosultra. Com, Laworo -Sore kemarin saya berkunjung disuatu lembah yang diapit oleh 3 Bukit, Apilo di sebelah Timur, Abuawewi di Utara dan Matandasa disebelah selatan. Lembah itu namanya “Wasiakito”. Suatu lembah subur yang sejak zaman yang lampau telah menjadi pusat pertanian masyarakat di Desa Lagadi.

Saya menemui La Opo seorang pemuda yang sedang berada di “Kaindea” (semacam kebun peninggalan leluhur) sedang bersiap memetik buah langsat. Pada saya, dia mengungkapkan rasa syukurnya pada Allah SWT, ungkapan syukur itu diungkapkan dalam bahasa daerah Muna yang kurang lebih seperti ini “Alhamdulillah taghu aini nokobhake bubono mani, kabhari sepaliha bhakeno.

Ane taghu nekundomo miina nakobhake”. (Alhamdulillah tahun ini berbuah langsat kami tahun ini, buahnya banyak sekali. Kalau tahun lalu tidak berbuah). Sesaat setelah itu dia dengan gesitnya menapak dahan demi dahan pohon langsat. Katanya pohon langsat yang dipanjatnya ini jenisnya manis. “O tombula”. Kawantahi (Panjang), Nobalahi ( Besar), Miina nakoghonu (tidak berbiji) dan Nomeko (Manis). Saya hanya bisa melihat dan mencoba menerka nerka kira kira semanis apa rasanya. Maklum saat itu belum waktu berbuka. Soal jenis Langsat ini dikenal ada dua jenis. Pertama, Jenis Tombula (Manis, Buah besar panjang dan nyaris tanpa biji) dan Kedua, Jenis Ntanga ntanga (Manis agak tawar, buah bulat dan cukup berbiji), ungkapnya sabtu(23/3/2024).

Tahun ini aneka tanaman buah di Muna Barat dapat dikatakan berbuah sangat lebat. Durian, rambutan, langsat dan jenis buah lainnya. Sampai sampai ada ungkapan menggelitik dari masyarakat bahwa “Ondoke be waeya kaawu dongara” maksudnya bahwa “Monyet dan kelelawar pun menyerah” mau memilih buah yang mana untuk dimakan karena hampir disemua tempat aneka pohon buahan berbuah dan sangat sarat buahnya.

Sampai sampai karena over produksi dan musim panen berbarengan dengan bulan puasa. Harga jual buah jenis rambutan dan langsat sempat drop harganya. Untuk rambutan ditingkat petani oleh pengepul dihargai Rp.2000/kg. Sedang langsat sekarung 50 kg dihargai 120 ribu. Hanya durian saja yang masih stabil harganya tak kurang dari 45 ribu/kg. Mungkin karena pengaruh statusnya masih sebagai Raja Buah/ The King of Fruits dan masih sedikitnya areal tanam durian di Muna Barat.

Soal buah langsat, dapat dikatakan wilayah Pulau Muna ini adalah surga tanaman ini. Dikebun kebun tak terawat pun tumbuh subur dan berbuah. Tanaman ini sudah menjadi salah satu sumber penopang ekonomi masyarakat. Khusus di Muna Barat Langsat terkenal dari daerah Marobea, Lakanaha, Lagadi, Lailangga, Latompe. Jika kita kepasar di Kota Raha para pedagang biasanya menyebut nama daerah daerah itu sebagai sumber buah langsatnya.

Hanya saja eksistensi langsat endemik Pulau Muna ini acap kali tersisih dari massifnya penetrasi langsat dari wilayah daratan kendari bahkan Palopo Sulawesi Selatan. Langsat dari daratan kendari dan Palopo dikenal manis dan buahnya besar dan nyaris tanpa biji, dan biasanya lebih awal berbuah dari langsat yang ada di Muna sehingga lebih awal masuk di Muna.

Kondisi ini terjadi diakhir akhir ini diera tahun 2000 an keatas. Diera tahun 90 an kondisinya terbalik, dapat dikatakan Langsat dari Pulau Muna masuk merajai pasaran sampai di Kota Kendari bahkan Kota Bau Bau. Juga sampai di Kota Makassar.

Saya coba menganalisa apa yang terjadi dengan fenomena tersebut. Sangat mungkin karena saat lalu di era tahun 90 an, Pohon Langsat dirawat oleh masyarakat. Masyarakat di Muna tidak banyak mengenal buah jenis lain misalnya rambutan dan durian. Kalaupun ada rambutan masih rambutan hutan yang pohonnya besar dan buahnya agak kecut.

Demikian pula durian, nanti diera tahun 2000an keatas masyakat bercocok tanam jenis buah ini. Masuknya para transmigran dari Jawa dan Bali di Pulau Muna era akhir tahun 80an membawa perubahan paradigma bercocok tanam masyarakat Pribumi. Masyarakat Muna akhirnya tau jenis jeruk Bali, Sunkist, Jeruk Limau. Begitu pula jenis rambutan (yang dalam bahasa Muna disebut Bulua) ada yang namanya Jenis Binjai, Aceh, Rapiah.

Penetrasi beraneka macam jenis buah itu perlahan lahan menggeser buah yang telah lama eksist dalam kearifan lokal masyarakat Pribumi. Masyarat beralih menanam buah buahan jenis baru. Akibatnya buah langsat tak terurus, dibiarkan tumbuh bercampur dengan tanaman tanaman lainnya. Menjadi tak spesial lagi, perawatannya pun juga asal asalan. Masyarakat akhirnya Lupa bahwa nenek moyang mereka telah mengajarkan turun temurun cara merawat pohon langsat ini.

Tengok saja langsat langsat tua yang berada di Marobea, Wandarusa, bahkan Lagadi sudah tak ada upaya diremajakan secara sengaja oleh masyarakat. Untung saja kelelawar masih bermurah hati, menebar bijinya setelah buahnya dimakan dak akhirnya tumbuh dimanapun tempat dia membuang bijinya. Dapat dikatakan langsat yang ada saat ini tumbuh alamiah tanpa ada sentuhan teknologi pertanian bahkan untuk dipupuk pun tak terpikirkan.

Dampaknya pohon langsat di Muna tak berbuah kontinyu dari tahun ke tahun, sangat bergantung pada keramahan musim. Jika musim lagi ramah dan sedikit hujan maka pohonnya akan berbuah dengan sangat lebat.

Kadangkala soal buah langsat dan buah jambu mete atau jagung biasanya dikaitkan dengan hal hal mistis dan terkait fenomena kepemimpinan lokal. Ada ungkapan ditengah tengah masyarakat jika panen buah melimpah biasanya dikaitkan dengan keberkahan pemimpin disatu wilayah atau dalam istilah Muna “Norindima Liwu, Nodhadhi kafembula / Kampung nyaman, tanaman semua berbuah atau berhasil). Suatu kepercayaan masyarakat yang menurut Mochtar Lubis adalah salah satu ciri masyrakat Indonesia yakni percaya pada hal hal klenik atau takhayul.

Soal langsat ini sudah saatnya menjadi perhatian Pemerintah, tak boleh lagi dilepas tak terurus. Dinas teknis sudah harus mengambil teroboson, melakukan riset agar Langsat dapat bernilai ekonomi tinggi dan dapat menopang ekonomi masyarakat. Toh soal tanah Muna tak perlu diragukan lagi. Tanah Muna surga bagi tanaman langsat, tak ditanam pun dapat tumbuh dan tak dirawat pun dapat berbuah. Apalagi jika mendapat sentuhan ilmu pengetahuan.

Kita tak perlu ikut “latah” dengan setiap tahunnya menyediakan bibit tanaman buah kelas premium. Yang hasilnya dan cara tanamnya tak begitu dipahami oleh masyarakat kita. Toh yang sudah ada saja dimasyarakat tak pernah cukup serius diurus. Seperti nasib langsat ini, yang berupaya tetap menunjukan eksistensinya sekalipun terabaikan. Komoditas lokal ini dapat menjadi penambah daftar inventarisasi kekayaaan jenis buah di Muna Barat. Kita bermimpin langsat Muna kembali menjadi raja, mengekspansi pasar sampai ke luar Pulau Muna. Entah itu kapan…kita menunggu niat baik itu.

Laporan : La Bulu.

error: Hak cipta dilindungi undang-undang !!