Opini : Pae Wuna Beras Muna

Indosultra.Com , La Woro – Kemarin dalam suatu momen adat saya bertemu dengan para tetua. Dalam momen itu tak melulu soal adat yang menjadi topik pembicaraan, juga menyinggung soal pangan salah satunya tentang eksistensi beras muna (pae wuna) dimasa dahulu.

Ada pertanyaan yang dilontarkan oleh salah seorang tetua, mengapa saat ini tak banyak lagi yang membudidayakan beras muna? Beras muna itu tak seperti beras yang dihasilkan oleh padi sawah yang mendapatkan pasokan air irigasi.

Beras muna itu, adalah beras yang berasal dari padi yang ditanam diladang. Dan sangat tergantung pada pasokan air hujan atau sawah tadah hujan.

Atas pertanyaan itu, salah seorang tetua menimpali mungkin karena saat ini terlalu banyak “rone”. Rone itu sejenis burung pipit. Orang Muna menyebut burung pipit itu “Rone”.

Lalu tetua yang bertanya tadi kembali berucap zaman dulu juga Rone banyak tapi masih dapat diatasi oleh orang tua terdahulu. Seharusnya sekarang pun dapat diatasi, sambungnya.

Tetua lain juga ikut memberi tanggapan atas pertanyaan tadi, katanya “Rone dulu dapat diatasi karena saat itu begitu banyak tempat yang menjadi areal padi ladang, sehingga rone dapat memilih makanan dibanyak tempat”.

Dan juga masih ada ilmu batiniah yang dipakai untuk menghalau hama rone. Yang boleh jadi saat ini sudah tak diwariskan lagi pada generasi zaman sekarang.

Budidaya padi ladang bagi masyarakat Muna bukan lah sesuatu yang baru. Sedangkan padi sawah adalah hal yang baru yang dibawah oleh para transmigran di Muna.

Namun sesungguhnya cara bercocok tanamnya tak jauh berbeda hanya soal pengaturan airnya saja. Jika masyarakat Muna masih mengandalkan tadah hujan, para transmigran sudah mengandalkan pengetahuan mereka tentang manajemen air untuk pengairan sawah.

Pengetahuan soal padi sawah ini juga akhirnya diadopsi oleh sebagian kecil masyarakat pribumi pada beberapa tempat didaerah persawahan.

Sawah itu tak melulu soal kesiapan lahan, namun juga tentang kebiasaan dan ilmu bercocok tanamnya. Sedangkan manajemen airnya merupakan prasyarat utama yang mesti dikuasai khususnya pada sawah irigasi teknis.

Dibagian barat Muna seperti Dandila, wandarusa, marobea, lalemba adalah beberapa tempat yang dijadikan areal padi ladang masyarakat kala itu.

Saat itu ada yang namanya padi jenis “Balongka”. Jenis padi ladang unggulan dari Lalemba. Jenis padi ini digandrungi karena rasanya pulen dan hasilnya panennya banyak.

Selain itu juga ada yang namanya padi jenis “Wongko”. Jenis padi yang menghasilkan beras pulut. Untuk 1 Hektar lahan membutuhkan 50 liter bibit padi, yang biasanya akan menghasilkan sekitar 100-150 ikat padi.

Hasil panen padi itu nantinya akan dibagi 1 bagian untuk yang memanen dan 3 bagian bagi pemilik padi. Pemanen padi disebut “metobeno” yang sengaja dipanggil oleh pemilik lahan atau datang dengan inisiatif sendiri.

Pasca panen, padi itu nantinya akan disimpan dan digunakan disaat saat tertentu saja. Tak setiap hari dijadikan sumber makanan masyarakat kala itu.

Diselang selingi dengan pangan lainnya seperti jagung dan ubi. Biasanya padi ditumbuk jika masyarakat memiliki lauk ikan katowo (ikan asap) dari jenis Korapu, Ntongori, Kadiwa.

Memakan nasi kala itu artinya istimewa tak boleh lauknya asal asalan haruslah spesial. Jenis ikannya juga ikan yang dagingnya tebal, ukurannya besar dan rasanya enak dan telah diasapi terlebih dahulu. Namanya “ikan katowo”.

Saat itu tak seperti sekarang ini dimana ikan dari laut dapat langsung dimasak. Karena jarak yang jauh dari lokasi pemukiman dan ketidakadaan fasiltas transportasi, maka ikan yang telah ditangkap haruslah diasapi terlebih dahulu untuk membuatnya awet.

Jarak dari pesisir Muna Barat seperti tanjung pinang, latawe atau pesisir tiworo ke lokasi permukiman dapat mencapai puluhan kilometer. Dapat ditempuh sehari penuh atau sehari semalam dengan berjalan kaki.

Beras muna diolah dengan cara diberi santan dan sedikit sisa parutan kelapa. Caranya kelapa yang telah diparut dan diperas menjadi santan. Santannya didihkan dicampur dengan beras kemudian diaduk sampai masak.

Namanya Kantoromafu. Rasanya gurih, lezat apalagi disantap dengan lauk ikan. Sekalipun lezat, namun dimakan tak boleh berlebihan. Bagi anak anak ditakar maksimal 1 paring, tak boleh lebih, pun demikian dengan lauk ikannya. Ditakar secukupnya.

Ikan laut saat itu adalah hidangan istimewa, tak semua keluarga dapat menyajikannya. Harganya mahal dan untuk mendapatkannya pada tempat yang jauh.

Saat ini kelezatan Pae Wuna tinggal cerita, entah dimana padi “balongko” dari lalemba yang tersohor itu. Jejaknya tak terlihat lagi. Orang Muna tak lagi bercocok tanam padi ladang.

Tinggal jagung dan ubi yang masih bertahan, itu pun denyutnya semakin melemah tertekan oleh derasnya bantuan “Beras Murah”. Apalagi dizaman yang katanya sedang “inflasi” ini. Bantuan beras murah mengalir sampai ke pedalaman menggerus kearifan lokal masyarakat, menghapus memori masyarakat akan ilmu bercocok tanam leluhur.

Semakin tahun sepertinya masyarakat semakin tercerabut dari nilai nilai lokalnya. Budaya konsumtif masyarakat pada pangan non lokal semakin tinggi.

Padahal kekuatan dan potensi pangan lokal disekitar kita masih ada, dapat menekan pengeluaran masyarakat.

Tapi ini tak pernah disadari oleh pengambil kebijakan. Pendapatan masyarakat yang menurun dan melambungnya harga beras semakin menekan hidup masyarakat.

Kemandirian akan pangan lokal sudah tak kokoh lagi, semakin lemah. Tak disadari, Hampir ambruk. Pangan lokal semakin tak ada ruang, masyarakat semakin terbiasa mengkonsumsi “beras non lokal”.

Pangan lokal tak pernah cukup baik diurus, pae wuna, kolope, mafusau, kahitela semakin kehilangan eksistensinya dalam menopang kebutuhan pangan masyarakat.

Padahal inilah katahanan pangan masyarakat Muna sesungguhnya. Ilmunya sudah ada warisan turun temurun. Tugas pemerintah tak sulit lagi tinggal menjadi pemantik dan pendorong. Agar pangan lokal ini semakin bergairah.

“Reinventing” menemukan kembali pangan lokal sepertinya layak digaungkan. Kita tak perlu malu mengkonsumsi pae wuna, kolope, mafusau atau kahitela.

Toh para leluhur kita telah melewati zaman ke zaman bersandarkan pangan lokal itu. Sari pati generasi kita saat ini sebagian boleh jadi dari itu semua. Kita ada sampai saat ini karena kemandirian leluhur dalam memanfaatkan pangan lokal.

Tak terbayangkan kala itu jika para leluhur tak mampu beradaptasi dengan pangan lokal mungkin cerita tentang generasi Muna sampai saat ini tak ada lagi.

Laporan : La Bulu.

Penulis Surachman, Dekan Fakultas Teknik Institut Teknologi Bisnis dan Kesehatan Muhammadiyah Muna Barat.