Indosultra.com, Kendari – Jembatan Bahteramas atau dikenal juga sebagai Jembatan Teluk Kendari semula dibanggakan sebagai ikon kebanggaan Sulawesi Tenggara (Sultra). Namun beberapa waktu terakhir, namanya kembali mencuat bukan karena keindahan atau prestasi arsitekturnya, melainkan karena peristiwa tragis yang berulang “bunuh diri remaja”.
Erwin Guswanto (23) pada Senin 26 Mei 2025 melompat dari Jembatan Bahteramas pada pukul 19.00. Sampai artikel ini ditulis, harian media lokal mewartakan bahwa proses evakuasinya masih dilakukan pihak berwajib.
Akhir April 2025 lalu, Riski Nurul (19), remaja perempuan Kendari, melompat dari jembatan itu di tengah malam. Sebelumnya, ia sempat mengirim pesan kepada pacarnya: “Sunyi, saya lompat,” disertai foto jembatan. Setelah pencarian intensif oleh tim SAR, jasadnya ditemukan mengambang tak bernyawa.
Bukan kali pertama. Juni 2023, pria dewasa ditemukan tewas setelah lompat dari lokasi yang sama. Februari 2023, seorang wanita diselamatkan dari upaya bunuh diri di jembatan itu. Polanya berulang. Tempatnya sama. Bahteramas pun dijuluki warga net sebagai “spot favorit bunuh diri” sebuah label yang begitu menyedihkan.
Kita patut bertanya, mengapa fenomena ini berulang? Mengapa anak-anak muda lebih memilih lompat ke gelapnya teluk, daripada melanjutkan hidup?
Sunyi yang Terlalu Dalam untuk Ditanggung Sendiri.
Fenomena ini bukan sekadar kasus kesehatan mental individual. Ini adalah pantulan luka sosial yang dalam, tanda bahwa sistem hidup hari ini gagal membentuk generasi yang kuat secara ruhiyah, tangguh secara mental dan tercerahkan secara tujuan.
Remaja seperti Erwin, Riski dan lainnya hidup dalam tekanan yang tak terlihat dimana beban hidup, relasi yang kosong, sistem pendidikan yang kering ruhiyah dan kultur media sosial yang membanding-bandingkan pencapaian semu. Sayangnya, negara hadir hanya sebagai penonton. Tak ada infrastruktur penanganan krisis mental. Bahkan pagar di jembatan pun tak cukup mencegah.
Lebih parah lagi, dalam sistem sekuler hari ini, hidup dinilai dari ukuran duniawi berupa harta, kecantikan, pencapaian akademik. Makna hidup dipersempit jadi soal “sukses atau gagal”, “bahagia atau tidak”. Tidak heran banyak anak muda terjebak sunyi, kehilangan arah, dan akhirnya memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidup.
Sistem Gagal yang Tak Membina Jiwa
Dalam sistem kapitalistik sekuler, tidak ada kerangka ideologis yang mendidik manusia memahami tujuan hidup secara benar. Agama direduksi jadi urusan pribadi, sementara pendidikan dan sosial dikelola tanpa ruh.
Remaja kehilangan pondasi akidah yang kuat. Tidak ada makna hakiki atas rasa sakit, ujian atau kegagalan. Tidak ada pembinaan masyarakat yang membentuk solidaritas ruhani. Yang tersisa hanya sunyi, kecemasan dan perasaan tak berarti.
Negara, alih-alih membina generasi, justru sibuk memblokir situs dakwah sambil membiarkan konten racun di TikTok dan Instagram terus mengalir deras.
Inilah saatnya kita jujur bahwa akar persoalan ini adalah sistemik. Kita sedang melihat generasi yang dilahirkan oleh sistem yang hampa arah dan gagal memanusiakan manusia.
Islam Hadir Membina Jiwa dan Menjaga Kehidupan
Islam tidak melihat manusia sebagai sekadar makhluk ekonomi. Islam mendidik manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Dalam pandangan Islam:
1. Hidup bukan milik manusia, tapi amanah dari Allah. Bunuh diri adalah dosa besar, bukan solusi.
2. Remaja dididik sejak dini dengan akidah yang kuat, bukan hanya soal nilai raport.
3. Masyarakat dibina dalam suasana keimanan, bukan dijadikan pasar hiburan dan konten sampah.
4. Negara hadir sebagai pelindung dan pembina jiwa, bukan hanya pembuat regulasi gersang.
Sistem Islam mewajibkan negara menyediakan pendidikan yang menyatu dengan pembentukan akhlak, menjamin kebutuhan dasar setiap warga, dan menghapus standar materialistik dalam menilai harga diri manusia.
Dalam Islam, ketika seseorang terluka secara batin, ia tidak dibiarkan tenggelam. Ia dikelilingi oleh masyarakat yang beramar ma’ruf nahi munkar, oleh keluarga yang punya visi ukhrawi, dan oleh negara yang punya tanggung jawab ruhiyah, bukan sekadar statistik.
Kita Harus Berhenti Menormalisasi Keputusasaan
Bahteramas kini bukan lagi sekadar jembatan. Ia telah menjadi simbol keputusasaan generasi yang kehilangan peta hidup. Setiap tubuh yang melompat dari sana adalah pekikan sunyi yang seharusnya mengguncang hati kita semua.
Tapi jangan cukupkan dengan simpati. Kita butuh perubahan. Bukan pada pagarnya, tapi pada sistemnya.
Saatnya umat ini berpaling dari sistem yang gagal membina manusia dan kembali pada sistem yang bersumber dari wahyu. Islam bukan sekadar agama spiritual. Ia adalah sistem hidup yang membina akal, jiwa, dan masyarakat secara utuh.
Karena tidak ada solusi sejati bagi kehidupan selain sistem yang berasal dari Sang Pencipta kehidupan itu sendiri. Wallahu’alam.
Opini (La Ode Mahmud)
Laporan:Ramadhan.








